Periode ini merupakan pergaulan yang aktif antara para pemusik lokal dengan pemusik Eropa di Jawa.1 Sekolah-sekolah guru Belanda pada masa H.I.K. dan Kweekschool menjadi tempat para pemusik pribumi belajar musik barat, salah satunya Soerjopoetro seorang priayi Puro Pakualaman.2 Pada masa itu para tokoh-tokoh karawitan di Jawa bertemu dengan para pemusik Eropa yang progresif seperti Walter Spies, Linda Bandara dan Collin Mcphee, serta akhli-akhli teori karawitan Belanda seperti Jaap Kunst dan Brans Buy. Sebagai akibat dari tersedianya pendidikan gaya Eropa kepada priayi Jawa, cendekiawan Jawa meminjam pendekatan cara Eropa untuk studi kebudayaan Jawa. Terkesan dengan gagasan musik karawitan sebagai kesenian luhur, priayi Jawa menggunakan status dan metodologi Eropa untuk memberi penjelasan kesenian mereka. Pandangan priayi Jawa kepada kesenian mereka dalam periode kolonial dan postkolonial menjadi penting dalam pembahasan ini. Pertemuan ini pada gilirannya juga mempunyai dampak penting bagi perkembangan dunia musikologi dan etnomusikologi di Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah di Indonesia bangsa Belanda pernah mengajarkan instrumen musik Barat kepada abdi dalem Kesultanan Kraton Yogyakarta dan Kasunanan Kraton Surakarta. Tujuannya agar dapat memainkan lagu kebangsaan ‘Wilhelmus’ saat upacara kunjungan tamu resmi pejabat dari negeri Belanda. Pada tanggal 26 mei 1923, terbentuklah tradidisi musik diatonik dikembangkan dengan baik oleh Walter Spies dan beberapa orang Eropa serta seorang Letnan Angkatan Darat Hindia Belanda Dongelman. Sejak itu terjadi hubungan yang bersifat terbuka antara bangsa barat dengan bangsa Indonesia dengan penuh kompromi. Berkembangnya nasionalisme di Indonesia saat itu tidak lagi semata-mata didasarkan atas persamaan-persamaan bersifat primordialisme, diilhami cita-cita kebangkitan nasional tahun 1908, pada tanggal 28 Oktober 1928 pemuda Indonesia mengucapkan ikrar sumpah pemuda, yaitu Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Sebagai simbol ikrar teks sumpah pemuda berkumandang lagu ‘Indonesia Raya’ pertama kali yang diciptakan W.R. Supratman. Diakuinya bahasa melayu sebagai bahasa nasional dan sekaligus diakuinya musik diatonis sebagai musik nasional, disebabkan perlakuan istimewa terhadap lagu ‘Indonesia Raya’ sebagai akibat diakuinya bahasa melayu sebagai bahasa nasional. Hal ini memicu timbulnya konflik para cendekiawan Jawa yang menginginkan lagu ‘Indonesia Raya’ menggunakan musik khas Jawa melalui instrumen gamelan. Upaya telah dilakukan dengan mencoba para empu gamelan pada tahun 1930-an dengan memodernisir gamelan secara praktek maupun teori. Perubahan-perubahan dalam notasi musik diantaranya pernah ditulis dalam buku kecil Muhamad Yamin, bahwa usaha-usaha memainkan lagu ‘Indonesia Raya’ dengan gamelan terbukti mengalami kegagalan, oleh karena secara teknis lagu itu memakai sistem tangganada diatonis, sementara instrumen gamelan memakai sistem tangganada pentatonik.
Pada masa pendudukan Jepang dan Orde Lama 1942-1965, yaitu diawali perjuangan revolusi Indonesia, sebagai angkatan pendobrak hingga pascakolonialisme. Perkembangan musik menjadi isu politik, karena perbedaan pendapat dikalangan para pejuang seniman Indonesia. Perkembangan musik berfungsi sebagai salah satu sarana pendidikan nasional mengalir setelah munculnya generasi penerus sesudah W.R. Supratman dan Mochamad Syafei pendiri INS Kayu Tanam di Sumatera Barat. Di Jawa kenal generasi berikutnya ialah Ismail Marzuki, Kusbini, Bintang Sudibyo, R. Soenarjo, H. Mutahar, R.A.J. Soedjasmin dan lain-lain. Beberapa waktu kemudian muncul pula para pemusik asal Tapanuli dengan latar belakang pengetahuan dan praktisi musik klasik Barat yang cukup handal. Para pemusik ialah Cornel Simanjuntak, Amir Pasaribu, J.A. Dungga, Liberty Manik, Binsar Sitompul dan W. Lumban Tobing. Gejala ini muncul dari latar belakang lingkungan musik gereja yang merupakan bagian integral dari kebudayaan Barat yang masuk ketanah batak melalui misionaris Jerman.3 Oleh sebab itu dasar musikalitas mereka sudah teruji dan menjadi modal utama yang membentuk mereka dalam lingkungan musisi akademis yang tangguh setelah belajar dan menetap di Jawa, baik sebagai komponis, instrumentalis, kritikus, musikolog maupun etnomusikolog. Saat itu hanya pada masyarakat Tapanuli manifestasi budaya musik klasik barat mendapat tempat pada penghayatan yang paling dalam, terutama pada penghayatan agama. Bagi para komponis dan kritikus musik asal Tapanuli musik klasik barat dan musik kontemporer Indonesia yaitu musik Indonesia Baru adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu ketika pada tahun 1950-an suasana kehidupan budaya masyarakat elit di Indonesia berorientasi ke barat dengan paket ideologi demokrasi liberal dan humanisme, sekelompok pemusik diatonis Tapanuli yang berada dalam kubu ideologi ini merasa memiliki otoritas untuk menentukan kriteria pembentukan genre dan idiom musik nasional yaitu musik diatonis yang mengacu dengan legitimasi penerimaan lagu ‘Indonesia Raya’ sebagai lagu kebangsaan.4 Sementara itu para cendekiawan Jawa pada masa itu sudah berhasil menyelundupkan konsep Ki Hadjar Dewantara yang berbunyi “Budaya nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah” sesuai Pasal 32 Undang-Undang Dasar 45 dalam kongres kebudayaan kedua di Bandung tahun 1951. Konsep Ki Hadjar Dewantara ini kemudian diterjemahkan oleh Barder Djohan kedalam konteks permasalahan musik nasional yang berbunyi “musik nasional adalah gabungan puncak-puncak musik daerah”. Tentunya tidak usah dipertanyakan lagi bahwa bagi Ki Hadjar Dewantara gamelan Jawa adalah contoh yang paling baik dari sebuah puncak kebudayaan daerah, sebuah musik yang seharusnya dijunjung menjadi bagian dari musik nasional Indonesia mewakili daerah lain. Sebagaimana diketahui bahwa semenjak kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme, masyarakat mulai mencari identitas kebudayaan Indonesia. salah satu tokoh Amir Pasaribu yang berlatar belakang pendidikan musik barat, beliau selalu mengambil unsur-unsur daerah untuk dimasukan kedalam karya-karyanya. Apa yang dikatakan J.A. Dungga tentang Amir Pasaribu dalam usaha mencari pribadi sendiri dalam karya untuk piano sebagai berikut.
“Yang kita maksudkan dengan mencari pribadi sendiri ialah dengan menyesuaikan reportoar musik konser kita atau musik klasik kita dengan bahan-bahan yang ada di dalam bumi kita sendiri. Bagi komponis-komponis kita yang maju sebenarnya bukan hal yang baru, ingat kita misalnya kepada Amir Pasaribu, yang kira-kira sepuluh tahun yang lampau seniman musik kita ini telah mulai mengolah musik-musik yang ada di Priangan dan di desa-desa kita, yang diciptakan untuk piano tunggal dan dimainkan oleh piano ulung kita ibu Sutisno dan yang juga memperkenalkannya untuk pertamakali. Ciptaan-ciptaan Amir Pasaribu tersebut sampai juga dimainkan di radio Paris. Yang kita kenal adalah seuatu “siklus” seperti Variasi Sriwijaya, Ole-ole Meloyo-loyo, Indihyang, Tjikapundung dan ada beberapa dengan nama Perancis seperti Clair de Lune, Suite Villageoise dengan pengaruh-pengaruh Debussy”.

Memang bila dianalisis dari karya-karya pianonya, Amir pasaribu telah melakukan akulturasi budaya timur dan barat. Sebagai seorang komposer ia sangat disegani di tanah air. Menurut pendapat Dr. L. Manik bila dibandingkan dengan C. Simanjuntak, Amir Pasaribu telah melangkah lebih maju dalam teknik komposisi.
Pada tahap berikutnya pertentangan antara diatonis dan pentatonis tetap berlanjut, akhirnya tanpa dielakan menciptakan dua kubu konfrontatif dalam perkembangan musik nasional, yakni kubu yang berangkat dari latar belakang musik tradisional atau kubu pentatonis dan kubu yang berangkat dari latar belakang musik barat atau kubu diatonis. Keterpisahan kedua kubu ini pada masa itu semakin dipertegas dengan berdirinya dua buah lembaga pendidikan musik formal, yakni Konservatori Karawitan (KOKAR) tahun 1952 di Surakarta dan Musyawarat Musik Indonesia (MMI) tahun 1953 di Yogyakarta, dengan pimpinan dan para tokohnya R.A.J Soedjasmin, Amir Pasaribu. J.A. Dungga yang mengajarkan musik klasik barat. Pada KOKAR akhirnya pemerintah meletakan agenda lahirnya musik nasional yang berakar pada musik daerah. Konflik ini kemudian semakin keruh dengan munculnya sekelompok seniman yang mengimpor ideologi lain dalam mencari identitas budaya nasional. Kelompok yang kemudian mendirikan organisasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) ini mengambil ideologi kerakyatan sebagai landasan nasionalisme mereka.5 Periode ini juga memproses munculnya generasi komponis baru yang kemudian melakukan babak transformasi lagi dalam dunia musik kontemporer. Pertentangan ideologis yang semula berorientasi pada masalah musikal yang instrinsik, seperti tangganada diatonis-pentatonis atau genre musik karawitan akademis bergeser menjadi pertentangan masalah yang entrisik, yakni peran kreatifitas musik dalam merekayasa sebuah transformasi budaya yang didasarkan atas ideologi politik tertentu itu adalah ideologi kerakyatan yang anti kolonialisme dan imprelialisme, serta kepribadian nasional.6
Dalam kedua kubu musik diatonis dan pentatonis itu sendiri ketika itu muncul komponis yang berpijak pada ideologi baru tersebut. Dalam dunia pentatonis ditandai munculnya gendhing-gendhing mutakhir dengan teks mengacu pada ideologi politik masa pemerintahan Soekarno. Beberapa dari gendhing juga menggarap eksperimentasi yang menarik dari unsur gamelan itu sendiri. Sementara dikubu musik diatonis juga muncul musik-musik yang berbau kerakyatan. Para pemusik yang bergabung dengan Lekra pada masa itu banyak menciptakan musik vokal dengan teks yang berkiblat pada ideologi realisme sosialis dan rezim Soekarno. Beberapa dari teks mini diangkat oleh para penyair Lekra. Karya-karya para pemusik pada masa itu diterbitkan dalam bentuk partitur atau dalam media massa yang menjadi wadah ideologi pemikiran budaya Lekra semacam propaganda politik.
Munculnya ideologi baru ini agaknya memaksa para pemusik diatonis yang berpihak pada kelompok penganut paham humanisme universal untuk mengarahkan juga kritiknya kepada rekannya. Pada awal dekade 1960-an, konflik baru ini telah membuat para seniman menjadi lebih sibuk berpolitik ketimbang berkesenian. Gejala ini semakin tajam ketika sekelompok seniman anti Lekra memproklamirkan manifes kebudayaan. Binsar Sitompul turut berperan sebagai seorang yang menetang sikap politik Lekra dan LKN serta menyerukan agar asas kehidupan budaya masyarakat Indonesia dikembalikan kepada Pancasila.7 Dengan kata lain kedua kubu besar seniman, budayawan ini akhirnya terperangkap dalam kancah pergaulan politik praktis dengan segala taktik strategi guna memperjuangkan sebuah gagasan dan cita-cita besar, yakni revolusi kebudayaan. Puncak pergulatan ini terjadi manakala meletus peristiwa G-30-S PKI, mengakhiri segala drama politik di dunia kesenian dan meninggalkan sebuah trauma yang dalam bagi kedua belajh pihak. Komponis yang terlibat dalam Lekra sempat mengalami masa tahanan di pulau Buru.
Masa orde baru 1966 sampai kini, yaitu dengan padamnya konflik ideologi realisme sosialis versus humanisme universal. Perkembangan musik nasional di Indonesia pada dekade 1970-an kembali berhadapan dengan problematik yang semula terdapat kesenjangan antara dunia musik diatonik-pentatonik ini tetap keadaannya merisaukan para pemusik dari generasi 1960-an. Frans Haryadi generasi saat itu merasa prihatin dengan permasalahan ini. Posisinya sebagai seorang komponis dan etnomusikolog, yang juga berkecimpung didunia musik tradisional, mengambil sikap netral ia merasa bahwa jurang pemisah kedua kubu tersebut perlu dijembatani. Frans Haryadi berharap akan lahir dialog yang lebih sehat dan produktif diantara kedua kubu yang berseberangan dan peran itu seharusnya dijalankan oleh seorang komponis. Dalam tulisan pengantar dan laporan sayembara komposisi yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1974 ia berkata.
“Dulu sebagian pencinta musik mengungkapkan ide-idenya melalui media bahasa tradisi musik warisan nenek moyang, sebagian lain melalui media bahasa musik barat. Kita tidak menginginkan kedua bahasa musik itu dapat dipadu dalam waktu singkat, kecuali perpaduan melalui suatu proses yang berjalan secara alamiah dan memakan waktu lama. Maka dalam proses itulah para pencipta musik akan memegang peranan utama sebagai perintis jalan baru, yang gagasannya terarah kepada diri masing-masing. Hasil-hasil ciptaan mereka akan membuat suatu tradisi musik baru, juga menghidupkan kontinunitas perkembangan musik”.8

Gagasan dan cita-cita Frans Haryadi ini akhirnya menjadi sebuah kenyataan ketika pada akhir dekade 1970-an beberapa komponis dari dunia pentatonis menggarap karya-karya mereka dengan kredo instrumen sebagai sumber bunyi. Dengan kredo ini dilema pentatonis-diatonis dengan sendirinya dapat dipecahkan. Para komponis ini tidak lagi memusatkan kekuatan musiknya pada tangganada, akan tetapi lebih kepada warna suara yang digali dari segala macam kemungkinan bentuk dan materi instrumen. Komponis dengan latar belakang karawitan tradisional yang menggarap karya-karyanya dengan menerapkan konsep ini secara radikal yang luar biasa adalah A.L. Suwardi salah satu tokoh musik dari ASKI Surakarta. Pada pengantar karyanya sebuah proses yang dipentaskan dalam Pekan Komponis Muda 1984 Suwardi menulis.
“Penjajagan bunyi dalam rangka mencari kemungkinan kemampuan alat sumber bunyi dalam rangka mencari kemungkinan kemampuan alat sumber bunyi sebagai alat ungkap, bagi kami merupakan peristiwa atau proses yang menarik. Kali ini kami sajikan proses itu sendiri sebagai komposisi”9.

Sementara itu dari pihak komponis diatonis generasi 1970-an juga muncul para komponis yang menggarap karyanya dengan memanfaatkan insrumen tradisional dan pendekatan estetika yang justru berangkat dari konsep tradisional. Diantaranya Harry Roesli, Guruh Soekarnoputra, Embie C. Noer, Marusya Nainggolan, Otto Sidharta, Tony Prabowo, Michael Asmara, Sapto Rahardjo, Ben Pasaribu, Sutanto dan Frankie Raden. Dalam proses penciptaan sebagian dari mereka melibatkan orang-orang tradisi sehingga bisa dikatakan sebuah karya koloborasi yang mampu menampung kreativitas para pemain dalam idiom musik tradisi.
Pendekatan lintas budaya ini secara konsisten dilakukan oleh para komponis generasi 1970-an yang disebut tadi. Konsep gotong royong yang merupakan unsur spesifik dalam sistem budaya musik tradisional ini masih tetap dipertahankan oleh para komponis yang berangkat dari latar belakang musik tradisional. Meskipun nama-nama seperti A.L. Suwardi, Rahayu Supanggah, Pande Made Sukerta, I Wayan Sadra, muncul sebagai seorang komponis, karya mereka umumnya mengandalkan garapan kolektif dimana kreativitas para pemain sangat menentukan bentuk akhir dari karya tersebut10. Dalam kesempatan lain, bentuk yang unik dan sangat menarik dari sebuah prinsif dialogis yang lain muncul melalui aktifitas musikal salah seorang tokoh musik kontemporer Indonesia dewasa ini, yakni Sutanto dari AMI Yogyakarta yang berdiam di desa Mendut dekat Candi Borobudur. Pilihan tempat tingggal dilingkungan pedesaan yang mencerminkan kehidupan sebuah komunitas adalah pilihan yang ia sadari. Sejak penampilannya dalam Pekan Komponis Muda I tahun 1979 Sutanto telah menunjukan kecenderungannya untuk alternatif kearah itu. Pada pengantar karyanya berjudul ‘Sketsa Ide’ ia menulis.
“Pendidikan dasar musik yang tampak kabur dan tidak berangkat dari akar dan tempat berpijak yang benar. Usaha penyusun untuk mengkaitkan musik dengan industri kerajianan rakyat sebagai alat-alat bunyi komposisinya. Kemudian pikiran-pikiran menuju budaya tempat kalau mungkin, dan tentunya menambah medium musik yang sudah ada dengan materi yang semoga relatif segar”11.

Modus ekspresi yang selalu muncul dalam bentuk kerjasama dengan orang-orang desa setempat adalah realisasi dari konsep berkesenian yang ia jalani secara konsisten sejak meninggalkan dunia akademis di tahun 1979. Oleh sebab itu karya-karya yang lahir dari konsep kerjanya ini menawarkan sebuah alternatif menarik bagi perkembangan dunia musik kontemporer Indonesia yang mengakar pada sebuah komunitas.
Analisis yang dipakai dalam penelitian ini memakai teori budaya konsep Trikon, Ki Hadjar Dewantara dan akulturasi yang merupakan salah satu pemikiran tentang kebudayaan untuk kemajuan bagi perkembangan budaya, maka diperlukan hubungan dengan budaya-budaya lain. Mengambil segala bahan kebudayaan dari luar yang dapat mengembangkan dan memperkaya budaya sendiri yang sudah ada. Meski demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih unsur-unsur budaya mana yang perlu, mana yang tidak perlu, mana yang baik, dan mana yang buruk dan disesuaikan dengan perekembangan zaman.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara diujudkan dalam konsep triloginya yang terkenal dengan nama “Trikon”12. Konsep ini merupakan hasil ramuan berdasarkan pengamatannya tentang budaya timur dan barat dan Trikon pengertiannya sebagai berikut.
Kontinyu : Menuju dengan alam budaya sendiri.
Konvergen : Berbaur dengan alam budaya diluarnya, untuk menuju
Konsentris :Hasil persatuan dari kedua alam budaya, namun kepribadian alam budaya sendiri masih ada.

Kontinyu Konsentris Konvergen

Makna dari konsep Trikon adalah, hendaknya kita menghubungi budaya luhur bangsa Indonesia (kontinyu) dan menyeleksi datangnya budaya luar dengan memberikan kemungkinan berpadunya budaya bangsa dengan budaya luar (konvergen) menuju terjadinya budaya baru yang lebih baik (konsentris). Ada beberapa contoh yang diberikan oleh Ki Hadjar Dewantara mengenai implementasi dari konsep Trikon beberapa diantaranya sebagai berikut.
a. Teori nasi goreng13. : Bahan nasi berasal dari daerah sendiri, dimasak dengan mentega dan keju yang berasal dari barat. Menurut Ki Hadjar Dewantara dimana perlu boleh mengambil bahan-bahan dari luar asalkan diolah, dijadikan masakan baru yang lezat dan sehat. Bahan pokok dari diri sendiri yang ditekankan Ki Hadjar Dewantara, bahan inilah yang paling penting, setelah itu barulah ditambah, diubah atau dikurangi.
b. Timur dan barat14. : Istilah ini mulai mencuat ketika terjadi polemik kebudayaan sekitar tahun 1930-an. Menurut Ki Hadjar Dewantara, barat lebih mementingkan intelektualisme, individualisme dan materialisme. Sebaliknya meski demikian Ki Hadjar Dewantara tidak pantang mengambil gagasan cara berfikir barat.
Konsep Trikon yang diterapkan pada pembangunan budaya bangsa, pendidikan dalam keluarga sebagai unsur kecil dari masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Kebudayaan nasional : Pada pemikiran Ki Hadjar Dewantara adalah segala puncak-puncak dan sari-sari kebuadayaan daerah diseluruh nusantara baik yang lama maupun yang baru. Puncak-puncak dan sari-sari tersebut diperoleh dari hasil konsep Trikon. Saat ini konsep tersebut justru sangat nyata, antara lain dalam mode pakaian. Kebaya model Jawa tengah, tetapi kain model sarung Sumatera yang dapat dijadikan industri mode Indonesia masa kini15.
b. Ing ngarso sung tuladha – ing madya mangun karsa – tut wuri andayani: yaitu dimuka memberi teladan – di tengah membangun semangat – di belakang mempengaruhi adalah sifat dan sikap pemimpin yang dikehendaki Ki Hadjar Dewantara beda dengan barat
Istilah akulturasi atau acculturation sebenarnya mempunyai banyak arti. Proses akulturasi sudah ada sejak dalam sejarah kebudayaan manusia, akan tetapi proses akulturasi yang mempunyai sifat khusus, baru muncul ketika kebudayaan-kebuadayaan barat mulai menyebar kesemua daerah dimuka bumi, dan mempengaruhi masyarakat suku-suku bangsa termasuk penjajahan. Akulturasi terjadi apabila terdapat dua kebudayaan atau lebih yang berbeda sama sekali (asing dan asli) berpadu sehingga proses-proses ataupaun penebaran kebudayaan asing secara lambat laun diolah sedemikian rupa kedalam kebudayaan asli dengan tidak menghilangkan identitas maupun keasliannya16. Beberapa catatan penting tentang masalah akulturasi yang menjadi pembahasan dalam topik ini17.
a. Metode-metode untuk mengobservasi, mencatat dan melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat.
b. Unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah dan yang sulit diterima ke dalam masyarakat penerima.
c. Unsur-unsur kebudayaan yang mudah diganti oleh unsur-unsur kebudayaan asing.
d. Individu-individu yang dapat dan cepat menerima dan yang sulit dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan asing.
e. Ketegangan-ketegangan dan krisis sosial akibat akulturasi.
Masalah yang menyangkut metode untuk observasi atau metodologi didalam penelitiannya menggunakan metode tiga kolom (three coloum method). Brosnilaw Malinowski (polandia 1884-1942) memakai tiga kolom. Penerapan metode tiga kolom ini ialah, kolom pertama merupakan sipeneliti mencatat keadaan masyarakat didaerah penelitian sebelum kedatangan bangsa barat sebagai pembicaraan luar. Lalu disusul dengan uraian keadaan masyarakat dari pada waktu mulai terjadi kontak dengan orang-orang dan unsur-unsur kebudayaan asing. Dalam hal ini dijadikan bagian atau kolom kedua. Kemudian keadaan masyarakat sasaran penelitian yang terakhir, yaitu adanya proses-proses lanjutan sebagai akibat perhubungan-perhubungan dengan pendatang tadi ditulis dalam kolom tiga. Jadi sebenarnya metode tiga kolom ini merupakan metode sejarah dari serentetan peristiwa proses-proses dalam akulturasi yang terjadi disesuatu masyarakat daerah tertentu18.
Akulturasi sebagai salah satu dari pergerakan budaya, sampai saat ini disadari ataupun tidak oleh masyarakatnya terus berlangsung sesuai dengan gerak dinamika kehidupan alam dan jaman. Proses dalam peristiwa kontak kebudayaan atau akulturasi ini dapat menimbulkan beberapa masalah baik yang berupa positif maupun negatif. Semua hal tersebut kembali tergantung kepada masyarakat, bagaimana ia dapat mengendalikan dan mengolah kebudayaannya.
Hal-hal yang menjadi dasar pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang akulturasi yang dikemukakan sekitar tahun1920 sampai dengan tahun 1950-an sebenarnya juga mempunyai maksud yang sama dengan apa yang ditulis oleh para ahli baik dari barat seperti Herskoviits, Beals, Broom maupun dari Indonesia sendiri seperti Koentjaraningrat. Hanya saja Ki Hadjar Dewantara mengupasnya secara simpel atau praktis meski demikian tidak mengurangi nilai substansinya. Semua pengalaman Ki Hadjar dewantara dalam menyerap kebudayaan timur dan barat yang ia lami, kemudian dituangkan kedalam konsep Trikon, dan konsep ini masih relevan dan dapat dianalogikan kesemua unsur budaya.
1.2. Rumusan Masalah
Agar usulan penelitian disertasi ini dapat lebih efektif, berikut ini disajikan beberapa perumusan masalah.
a. Bagaimana cara pendekatan untuk mendudukan tentang persoalan musik nasional sesuai konsep trilogi ajaran Ki Hadjar Dewantara dan relevansinya dengan perkembangan saat ini.
b. Bagaimana cara pendekatan profesional dan proposional mengenai fungsi musik nasional ditinjau dari latar belakang musik pentatonik dan diatonis sebagai akibat pengaruh budaya barat manfaatnya bagi keanekaragaman budaya bangsa Indonesia.
c. Bagaimana agar kedua disiplin musik pentatonik dan diatonik bisa hidup berdampingan secara harmonis satu dengan lainnya agar tidak timbul konflik dan perpecahan tetapi saling memperkaya bagi perkembangan kihasanah budaya Indonesia masa kini.